Dalam dunia yang semakin digital, keheningan bisa lebih nyaring daripada teriakan. Inilah temuan mencemaskan dari riset mutakhir Laboratorium SDGs, Program Studi Pengembangan Masyarakat Islam IAIN Parepare. Dengan menelusuri jejak data dari 98 kota di Indonesia selama lima tahun terakhir, riset ini menemukan bahwa lebih dari 75% kombinasi kata kunci “kerukunan” dan nama kota tidak meninggalkan jejak di pencarian digital maupun media daring.

Lalu kita bertanya: ke mana perginya suara toleransi?

Temuan ini bukan sekadar statistik; ia adalah cermin. Kota-kota besar seperti Yogyakarta, Bandung, dan Makassar memang dominan dalam jumlah liputan. Namun ironisnya, justru memiliki sentimen positif yang rendah. Sebaliknya, kota-kota kecil seperti Tomohon, Sibolga, dan Singkawang menunjukkan kualitas sentimen yang lebih baik, meskipun hampir tak terdengar gaungnya di ruang digital.

Paradoks ini menyisakan pelajaran penting: kerukunan hidup, tapi tak terdengar

Kita hidup di era algoritma. Apa yang tak muncul di mesin pencari, seolah tak pernah ada. Maka saat Google Trends memperlihatkan bahwa 75% kata kunci terkait toleransi tidak dicari orang, kita dihadapkan pada krisis kesadaran digital. Semangat Bhinneka Tunggal Ika kini terancam tenggelam dalam senyapnya perhatian publik.

Baca Juga:  Hari Buruh: Menghargai Peluh, Merawat Harapan

Yang kita butuhkan hari ini bukan hanya seruan damai dalam forum-forum formal, tetapi pengarusutamaan narasi toleransi dalam ekosistem digital. Tagar seperti #KerukunanMakassar, #ToleransiParepare, atau #FestivalLintasAgamaPalopo jangan hanya jadi hiasan kampanye musiman, tapi perlu dimaknai sebagai vaksin sosial untuk menangkal intoleransi yang bergerak diam-diam.

Pemerintah daerah, kampus, media lokal, dan komunitas lintas agama harus bersinergi. Dunia akademik perlu keluar dari menara gading, masuk ke percakapan publik, dan mengisi Google dengan narasi damai. Pemerintah perlu mengalokasikan anggaran tidak hanya untuk meredam konflik, tapi juga membangun konten positif dan menguatkan literasi digital kerukunan.

Catatan untuk Makassar, Parepare, dan Palopo

Coba ketik “dialog antaragama Parepare” atau “festival lintas agama Palopo” di Google. Hasilnya? Kemungkinan besar nihil. Tapi bukan berarti kota-kota itu minim semangat toleransi — mereka hanya kalah narasi.

Baca Juga:  Teka-teki Penembakan Pengacara di Bone, Hukum Diuji: Di Mana Pelaku?

Riset dari Laboratorium SDGs IAIN Parepare menunjukkan bahwa Makassar berada di urutan kedelapan dalam jumlah liputan media soal kerukunan — cukup tinggi. Namun, sentimen positifnya rendah. Banyak berita, tapi minim optimisme. Seperti pesta besar yang dipenuhi keluhan.

Sebaliknya, Parepare dan Palopo punya sentimen positif di atas 2% — sebuah skor yang menandakan kualitas pemberitaan yang optimis. Sayangnya, intensitasnya sangat minim. Parepare hanya menyumbang 5% dari total liputan nasional soal kerukunan, sedangkan Palopo lebih tragis lagi: hanya 1,6%.

Inilah yang disebut “paradoks kerukunan”: kota yang tenang dan damai justru jarang diberitakan, sementara kota yang gaduh justru mendapat panggung utama.

Makassar punya modal kuat: infrastruktur media, jaringan kampus, serta komunitas lintas iman yang aktif. Tapi ini semua harus dibarengi dengan peliputan yang mendorong narasi positif, bukan sekadar mengejar sensasi konflik atau kontroversi elite.

Baca Juga:  17 Agustus Hari Merdeka?

Sementara itu, Parepare dan Palopo punya kekuatan akar rumput yang luar biasa. Ada IAIN Parepare, UIN Palopo, dan komunitas lintas iman yang aktif. Namun sayangnya, kegiatan mereka masih tersekat di ruang aula atau grup WhatsApp — belum menembus ruang digital nasional, bahkan algoritma lokal.

Mari Bersama Menyuarakan Damai

Untuk Makassar: dorong media dan pemkot mengangkat narasi positif. Ajak jurnalis lokal, mahasiswa, dan pegiat media sosial untuk menulis dan mendokumentasikan praktik baik toleransi.

Untuk Parepare dan Palopo: jangan minder. Bangun jejaring dengan media, buat podcast, vlog, artikel populer — dan pastikan setiap kegiatan positif meninggalkan jejak digital. Sebab, kota damai yang tak terdengar tak akan pernah diperhitungkan dalam kebijakan nasional.

Karena pada akhirnya, di zaman digital ini, bukan yang paling damai yang didengar, tapi yang paling mampu berbicara.

Ditulis oleh Afidatul Asmar Ketua Program Studi Pengembangan Masyarakat Islam, Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah IAIN Parepare.