SETIAP 1 Mei, dunia berhenti sejenak untuk memberi hormat kepada mereka yang setiap hari menggerakkan roda kehidupan—para buruh.
Mereka bukan sekadar angka dalam data ketenagakerjaan atau wajah lelah di balik pabrik dan proyek pembangunan.
Mereka adalah denyut nadi peradaban, pejuang sunyi yang memastikan kebutuhan dasar manusia terpenuhi, bahkan saat hak mereka sendiri belum tentu terpenuhi.
Hari Buruh atau May Day seharusnya tidak hanya menjadi ajang seremonial atau parade tuntutan tahunan. Lebih dari itu, ini adalah momen refleksi nasional: sudahkah negara hadir bagi para pekerjanya?
Sudahkah keadilan benar-benar dirasakan sampai ke peluh yang paling bawah?
Ketika masih ada buruh yang digaji tidak layak, tidak dilindungi secara hukum, atau bekerja tanpa jaminan keselamatan, maka perjuangan belumlah usai.
Menghargai buruh bukan hanya soal upah layak dan jaminan kerja, tetapi juga penghormatan terhadap martabat manusia.
Di tengah gempuran teknologi dan otomasi, kita tidak boleh lupa bahwa sentuhan manusia tetap tak tergantikan.
Maka, Hari Buruh adalah panggilan bagi semua pihak—pemerintah, pengusaha, dan masyarakat—untuk membangun sistem kerja yang adil, manusiawi, dan berkelanjutan.
Karena sejatinya, kesejahteraan buruh adalah fondasi kokoh bagi kemajuan bangsa. (**)
Tim Redaksi