KASUS keracunan makanan kembali terjadi dalam pelaksanaan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dicanangkan pemerintah. Meski ribuan relawan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) telah mendapat pelatihan dari ahli gizi pada April 2025, pelatihan itu pun dilaksanakan setelah munculnya insiden keracunan di Cianjur. Ini menimbulkan pertanyaan: seberapa siap sesungguhnya pemerintah dalam memastikan keamanan pangan dalam program ini?

Beberapa ahli gizi menyoroti bahwa tekanan untuk memenuhi target jumlah penerima MBG dapat mengorbankan kualitas makanan yang disajikan. Pelatihan mendadak setelah kejadian, yang tampak reaktif dan bukan sistematis, dinilai tidak cukup untuk menyelesaikan masalah. Bahkan, laporan mengenai kualitas makanan yang rendah—seperti daging ayam yang keras, sayuran berulat, dan rasa makanan yang hambar—semakin memperkuat keraguan terhadap kesiapan semua pihak dalam pelaksanaan program ini.

Perlu diingat, keracunan makanan pada anak-anak usia pertumbuhan bukan persoalan sepele. Ini bukan hanya soal layanan publik, tetapi menyangkut masa depan generasi. Program yang bertujuan mencukupi gizi rakyat seharusnya menjadi garda terdepan dalam perlindungan, bukan justru menjadi sumber risiko. Rencana pengasuransian program MBG seolah mencerminkan sikap lepas tangan negara terhadap keamanan pangan, dan bisa menimbulkan persepsi bahwa keselamatan warga diserahkan pada skema bisnis.

Baca Juga:  Hari Jadi Bone 690 Tahun. Goodbye Corona

Tak hanya pada program MBG, lemahnya pengawasan keamanan pangan juga tercermin dalam produk-produk konsumsi yang beredar luas di masyarakat. Masih segar dalam ingatan kita kasus jajanan impor “La Tiao” dari Tiongkok yang sempat ditarik dari peredaran, serta penggunaan nitrogen cair pada jajanan “ciki ngebul” yang terbukti membahayakan. Terbaru, muncul kasus marshmallow mengandung unsur non-halal yang juga menunjukkan kurangnya kontrol terhadap produk makanan di pasar.

Situasi ini diperparah dengan kondisi sosial-ekonomi yang menekan keluarga. Tuntutan ekonomi membuat banyak orang tua memiliki waktu terbatas untuk memantau makanan yang dikonsumsi anak. Jika dahulu jajanan pasar berbahan alami lebih mendominasi, kini anak-anak lebih banyak mengonsumsi makanan kemasan dengan kandungan zat aditif seperti pengawet, perisa buatan, dan pengenyal yang belum tentu aman. Ini menunjukkan bahwa krisis gizi tidak hanya soal kecukupan, tetapi juga soal kualitas dan keamanan.

Baca Juga:  Tim Voli Putri Bone Gencar Berlatih Persiapan Jelang Porprov 2026

Persoalan pangan dan gizi juga tidak bisa dilepaskan dari sistem ekonomi yang melingkupinya. Dalam sistem kapitalisme, keuntungan sering kali menjadi prioritas, bahkan dalam sektor yang seharusnya menjadi domain pelayanan publik. Negara tampak kewalahan dalam menghadapi dampak dari sistem ini: sulitnya membuka lapangan kerja, banyaknya PHK, dan tingginya harga bahan pokok, semuanya berdampak langsung pada pemenuhan gizi keluarga.

Sejarah mencatat, dalam peradaban Islam, jaminan atas pangan dan gizi merupakan bagian dari tanggung jawab negara yang dilaksanakan dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah). Negara bukan hanya menjamin ketersediaan makanan yang halal dan thayyib, tapi juga memastikan distribusi yang adil serta membangun ketahanan pangan berbasis pengelolaan sumber daya secara mandiri. Sistem ini tak bertumpu pada mekanisme pasar bebas, tetapi berlandaskan pada syariat Islam dengan tujuan meraih kemaslahatan umat dan ridha Allah SWT.

Baca Juga:  17 Agustus Hari Merdeka?

Oleh karena itu, sudah saatnya umat Islam meninjau kembali model tata kelola negara yang benar-benar berpihak pada rakyat. Kebutuhan dasar seperti pangan, kesehatan, dan pendidikan semestinya menjadi prioritas dalam sistem yang menyeluruh dan berkeadilan. Dalam hal ini, sistem Islam menawarkan pendekatan yang layak dipertimbangkan, mengingat rekam jejaknya dalam membangun peradaban yang sehat, kuat, dan mandiri.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Penulis: Inggy, Aktivis Muslimah dan Pegiat Literasi