BONE, TEROBOS.ID – Kota Watampone, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, Selasa (13/1/2025), bergema dengan orasi dan langkah-langkah penuh semangat dari puluhan tenaga kesehatan sukarela.
Aksi damai yang dimulai dari Lapangan Merdeka ini berakhir di Kantor Dinas Kesehatan Kabupaten Bone, Jalan Ahmad Yani.
Dengan spanduk bertuliskan pesan-pesan penuh harapan, mereka menyuarakan aspirasi tentang hak yang selama ini dirasa diabaikan.
Di antara spanduk yang mereka bawa, tertulis kalimat-kalimat yang mencerminkan kekecewaan mendalam, seperti “Kami Butuh Kepastian”, “Hargai Perjuangan Kami”, hingga “Giliran Pandemi Kami Garda Terdepan, Giliran Pendataan BKN Kami Diabaikan”.
Para tenaga kesehatan sukarela ini, yang telah bertahun-tahun mengabdi dengan kompensasi minim, kini menghadapi ketidakadilan dalam seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Salah satu orator, perwakilan Forum Tenaga Kesehatan Sukarela, menyampaikan dengan lantang, “Kami telah bekerja keras melayani masyarakat, berjaga di fasilitas kesehatan, dengan imbalan hanya Rp50 ribu per bulan. Namun, beban kerja kami sama seperti tenaga kesehatan PNS. Kami tidak meminta belas kasihan, hanya meminta hak kami diakui.”
Isu utama yang diangkat adalah syarat administrasi seleksi PPPK yang dianggap diskriminatif. Banyak tenaga kesehatan sukarela yang tidak memiliki Surat Keputusan (SK) honor atau slip gaji, sehingga gagal memenuhi syarat seleksi. Padahal, sebagian besar dari mereka telah mengabdi selama belasan tahun.
“Bagaimana mungkin kami, yang telah bertahun-tahun mengabdi, tidak diakui sebagai pegawai non-ASN? Kami hanya ingin keadilan dan kesempatan yang sama,” ujar seorang peserta aksi dengan nada emosional.
Selain itu, para peserta aksi juga mengkritisi praktik nepotisme dalam proses pendataan dan seleksi PPPK. Mereka menyoroti adanya tenaga kesehatan baru dengan masa kerja singkat yang dapat mendaftar karena diduga memiliki “orang dalam,” sementara mereka yang lebih lama mengabdi terabaikan.
Sekitar pukul 13.30 WITA, mereka diterima Sekretaris Dinas Kesehatan Kabupaten Bone, drg. Yusuf, M.Kes. Dalam tanggapannya, drg. Yusuf mengakui kontribusi besar tenaga kesehatan sukarela namun menjelaskan keterbatasan regulasi dan anggaran yang dihadapi pemerintah daerah.
“Per Desember 2024, kebijakan nasional menghapus tenaga honorer. Kami memahami situasi ini menyulitkan. Namun, Pemda hanya bisa mengikuti petunjuk dari pemerintah pusat,” ungkapnya.
Ia menambahkan bahwa jumlah tenaga kesehatan non-ASN yang terdata hanya 318 orang, meskipun realitas di lapangan menunjukkan jumlahnya mendekati 1.000 orang. Hal ini menjadi tantangan besar, terutama mengingat keterbatasan alokasi APBD.
Untuk mengatasi persoalan ini, drg. Yusuf menyebut bahwa koordinasi dengan Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) terus dilakukan. Namun, formasi PPPK hanya dapat diikuti oleh mereka yang tercatat dalam database nasional.
“Kami berharap pemerintah pusat memberikan kebijakan lebih inklusif agar semua tenaga kesehatan mendapat kepastian,” imbuhnya.
Meski demikian, pemerintah daerah tetap berupaya memberikan insentif dalam bentuk perjalanan dinas dan jasa rekam medik sebagai bentuk penghargaan.
Aksi damai ini menjadi cerminan perjuangan para tenaga kesehatan sukarela di tengah keterbatasan regulasi dan anggaran.
Harapan akan kebijakan yang lebih adil menjadi doa dan tuntutan yang terus mereka perjuangkan, tidak hanya di Kabupaten Bone, tetapi juga di berbagai daerah lain di Indonesia.
Tim Redaksi